Beranda | Artikel
Empati Pendidikan Untuk Anak Miskin
Senin, 17 Oktober 2022

بسم الله الرحمن الرحيم

Alhamdulillahiwahdah wash shalatu wassalamu ‘ala rasulillah.

PROLOG

Pada suatu hari penulis diajak teman sesama da’i berkunjung ke rumah salah satu ikhwan. Setelah menempuh jarak perjalanan sekitar dua jam naik sepeda motor berboncengan, dengan tubuh yang lumayan pegal-pegal sampai juga kami di tujuan.

Dari jalan raya kami masuk ke sebuah gang sempit yang hanya cukup dilalui sepeda motor. Terlihat sebuah becak lawas terparkir di halaman. Dengan bertembokkan anyaman bambu dan berlantaikan tanah, di atas tanah sewaan, rumah ukuran kira-kira 3×6 meter itu berdiri. Persis di belakang rumah tersebut mengalir sebuah sungai, yang jika hujan, airnya akan meluap. Sehingga rumah tadi menjadi langganan tempat mampir kepiting hingga ular berbisa.

Begitu kami masuk, langsung disambut dengan pelukan hangat persaudaraan. Sejurus tuan rumah bergegas menyiapkan minuman Nutrisari dan menumpahkan biskuit di atas piring, yang nampaknya baru saja ia beli. Kami berusaha menahan beliau agar tidak perlu repot-repot, namun beliau tetap bersikeras untuk menghormati tamunya. Sambil menunggu suguhan, kami tercenung melihat isi rumah yang amat bersahaja itu. Dipan bambu dan lemari yang kayunya telah mengelupas di sana-sini. Kursi plastik, piala juara satu lomba bidang studi milik putra ikhwan tadi dan berbagai aksesori sederhana menghiasi rumah mungil itu. Hampir saja air mata menitik terenyuh, tapi bergegas penulis tahan, khawatir menimbulkan prasangka yang tidak-tidak.

Kemudian kami terlibat perbincangan hangat selama beberapa saat. Di tengah-tengah obrolan terlihat dua anak laki-laki berseragam SMP memasuki pintu belakang rumah. Ternyata mereka berdua adalah putra dari ikhwan tadi. Setelah bersalaman dengan kami, obrolan beralih tentang pendidikan kedua anak tadi.

Sesudah menjelaskan prestasi kedua putranya, di mana sang kakak menyabet rangking satu dan si adik meraih rangking kedua di sekolahannya, diiringi pandangan yang menerawang, ikhwan tadi bercerita. Sebenarnya putra-putranya ingin masuk ke pesantren. Namun, kendala biaya menghalangi impian indah tersebut. Bagaimana mungkin dengan mata pencaharian tukang becak, yang hasilnya bisa untuk makan saja sudah mending, ia bisa membayar uang pangkal masuk pesantren sebesar lebih dari lima juta rupiah! Belum lagi SPP bulanan yang menembus angka setengah jutaan.

Sebenarnya, rekan da’i yang mengantar saya berkunjung ke rumah ikhwan tersebut telah berusaha melobi kesana kemari agar pondok-pondok yang ia kenal bisa berkenan memberikan keringanan. Namun belum menghasilkan harapan yang diinginkan.

Sekelumit kisah tragis, yang saya yakin masih banyak puluhan kisah serupa, yang menyisakan sebuah pertanyaan besar:

Apakah pendidikan hanya milik orang kaya?

Manakala kita buka lembaran perjalanan pondok-pondok salaf beberapa belas tahun lalu, kita akan temukan bahwa biaya pendidikan di dalamnya masih relatif terjangkau oleh kocek para ikhwan, yang memang kebanyakan berkantong tipis. Barangkali karena lembaga tersebut saat itu masih minim fasilitas dan belum memiliki harga jual yang menjanjikan.

Namun dengan berjalannya waktu, tuntutan peningkatan kualitas pendidikan semakin mendesak para punggawa pondok tadi, untuk mau tidak mau menaikkan biaya pendidikan. Mulai dari uang pangkal hingga SPP bulanan.

Memang sih, belum seberapa jika dibandingkan dengan berbagai sekolah favorit orang-orang the have yang uang pendaftarannya puluhan juta, sampai ngalah-ngalahin biaya pendidikan S1. Tapi menurut hemat kami, jika biaya pendaftaran hingga menembus lebih dari angka lima jutaan, tampaknya terlalu berat untuk kebanyakan wali murid. Apalagi yang mata pencahariannya ‘hanya’ buruh bangunan, petani kecil-kecilan, penjual gorengan, tukang becak atau yang semisal. Padahal banyak di antara putra-putri orang-orang ‘kecil’ tadi yang keenceran otaknya tidak kalah dengan mereka yang berumah gedong dan bermobil mewah.

Banyak masalah terselesaikan dengan uang!

Barangkali inilah argumen terkuat yang akan disodorkan manakala kritikan di atas dilontarkan.

Betul memang, finansial mutlak dibutuhkan untuk memutar roda kehidupan suatu lembaga pendidikan. Bagaimana tidak, sedangkan pondok harus terus membangun asrama dan kelas, menyediakan fasilitas kesehatan, menggaji para guru dan karyawan, serta seabreg kebutuhan primer lainnya.

Namun, apakah itu semua atau mayoritasnya harus dibebankan kepada orang tua santri? Tidakkah ada solusi lain yang mungkin ditempuh?

BEBERAPA ALTERNATIF PEMECAHAN

Mungkin berbagai ide di bawah ini bisa dijadikan alternatif untuk menemukan jalan tengah yang dianggap ideal bagi pondok dan wali santri. Seandainya pun sudah diterapkan, barangkali masih perlu untuk dimaksimalkan.

1. Memberdayakan unit usaha pondok

Jumlah santri yang puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan, sejatinya merupakan potensi finansial yang sangat besar jika pemberdayaannya tepat, jitu dan jeli. Masing-masing santri pasti memiliki kebutuhan keseharian. Makanan, minuman, sabun, odol, pakaian, bacaan dan pernik-pernik lainnya.

Konsepnya sederhana saja; bagaimana agar uang santri tetap berputar di dalam pondok.

Sebuah pondok besar di Jawa Timur, sebut saja Pondok A, yang telah berumur lebih dari delapan puluh tahun, memiliki santri puluhan ribu dan seabreg ‘prestasi’, hingga saat ini masih bisa bertahan untuk tidak terlalu melambungkan uang pangkal dan SPP bulanannya. Padahal jika mau, bisa saja mengikuti tren sekolah mahal, apalagi pondok tersebut memang sudah memiliki nilai jual yang tinggi. Apalagi memang harga barang-barang kebutuhan pokok semakin hari semakin naik. Ditambah kebutuhan rumah tangga para guru yang juga tidak ada habisnya. Namun demikian Pondok A tetap menahan diri untuk tidak menaikkan biaya pendidikannya secara mencolok.

Rahasianya?

Salah satu kunci keberhasilan mereka dalam menahan lonjakan beban biaya pendidikan santri adalah: kekuatan penghasilan berbagai unit usaha pondok yang terus menyuplai dana.

Tidak tanggung-tanggung, lebih dari dua puluh unit usaha menyokong kehidupan pondok A! Mulai dari penggilingan padi, percetakan buku, toko besi, toko buku, sentral fotokopi, apotik, wartel, toko kelontong, pabrik es, pabrik roti, pabrik air minum, budidaya dan penyembelihan ayam potong, pasar sayur, jasa angkutan, kerajinan sandal, hingga warung bakso!

Beberapa tahun lalu saja, peghasilan unit-unit usaha tersebut yang disetorkan ke pondok tidak kurang dari 6 miliar rupiah/tahun![1]

Kekuatan swadana luar biasa, yang sejatinya adalah pemberdayaan potensi santri dan simpatisan pondok secara maksimal

Sudah dicoba tapi sering gagal!

Di suatu kesempatan, saya pernah berbincang lebih dekat dengan tokoh sentral Pondok A, karena kebetulan saya pernah menjadi sekertaris beliau. Di antara pertanyaan yang sempat terlontar, “Setiap ada peluang usaha terbuka, Pondok A selalu berusaha menambah unit usahanya, apakah tidak pernah mengalami kegagalan?”.

Dengan senyum tersungging ia menjawab, “Jelas, kami pernah gagal dan bahkan sering! Tetapi kami tidak pernah merasa kapok atau jera. Justru itu kami jadikan sebagai lecutan untuk terus maju”.

Saya jadi teringat motivasi yang kerap disampaikan para pebisnis yang telah sukses, bahwa keberhasilan besar mereka ‘pasti’ selalu diawali dengan kegagalan. Namun mereka menganggap berbagai kegagalan tersebut sebagai kesuksesan yang tertunda. Sehingga mereka selalu bangkit dan menjadikan kegagalan itu sebagai modal pengalaman yang tak ternilai harganya.

Pernah berapa kali saya berdiskusi dengan beberapa pengasuh pondok pesantren salaf mengenai urgensi kemandirian ekonomi pondok. Rata-rata mengamini pentingnya hal itu. Tetapi untuk memulai mewujudkan idealisme tersebut dalam tatanan praktek nyata masih banyak pertimbangan ini dan itu. Salah satu faktor terbesarnya adalah trauma akan kegagalan yang dulu pernah terjadi manakala berusaha merintis unit usaha.

Segala sesuatu yang memiliki tantangan pasti beresiko. Namun dengan ikhtiar, niat yang tulus dan tawakal kepada Allah insyaAllah gerbang cerah keberhasilan akan menanti di depan!

Memberi pancing bukan ikan

Suatu hal yang patut disyukuri, semakin tumbuhnya kesadaran orang-orang yang dikaruniai Allah kelebihan harta untuk menyisihkan sebagian hartanya guna membesarkan pesantren. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang seakan tidak pernah menghitung sumbangan yang ia gelontorkan. Banyak yang diwujudkan dalam bentuk bangunan masjid, asrama, kelas, hingga tunjangan para santri yang kurang mampu. Semoga Allah berkenan menjadikan itu semua sebagai amal jariah mereka, amien.

Namun, jika dicermati, rata-rata bantuan tersebut akan habis dengan selesainya proyek yang dituju. Lalu pesantren kembali menunggu uluran tangan berikutnya. Inilah yang kami umpamakan dengan memberi ikan.

Barangkali perlu untuk mulai kita pikirkan bagaimana memberi pesantren pancing untuk mengail ikan, bukan memberi ikan yang siap santap. Tujuannya: menumbuhkan kemandirian pondok dan mengurangi ketergantungan kepada bantuan para donatur.

Di antara kalimat yang sering diucapkan Kyai Pondok A, “Manakala tidak ada bantuan datang, maka pondok kami tetap jalan. Dan di saat ada bantuan, maka bukan hanya berjalan, namun kami akan berlari kencang!”.

Para ustadz sudah sibuk!

Siapa yang akan mengurus unit usaha pondok? La wong memikirkan pendidikan santri saja para ustadz sudah kewalahan, koq masih mau dibebani memikirkan warung bakso!

Tentunya, bukanlah para ustadz yang ditugaskan untuk menggiling padi, membungkusi roti, atau mengurusi pembukuan keuangan puluhan unit usaha pondok! Selain bukan bidang keahlian mereka, waktu para ustadz juga sudah habis untuk pendidikan dan pengajaran santri.

Namun, kita perlu memberdayakan SDM ikhwan-ikhwan para sarjana umum yang alhamdulillah tersebar di mana-mana. Berusaha untuk saling mendukung dalam bidang yang ditekuninya. Apalagi banyak dari mereka yang lebih memilih bekerja di tempat yang ‘aman’.

Akan tetapi perlu kehati-hatian, kearifan dan kepiawaian berinteraksi dalam proyek pekerjaan bersama seperti itu. Sebab sering terjadi kerenggangan yang berujung kepada karamnya kapal kerjasama, akibat kekuranghati-hatian dalam bertutur atau bersikap, juga karena kurang ‘mengorangkan’ manusia.

2. Menggiatkan program wakaf dan memberdayakannya

Wakaf merupakan salah satu aset umat Islam yang luar biasa, mampu memecahkan banyak masalah, jika diberdayakan dengan baik dan profesional.

Sebagian kalangan mengira bahwa wakaf itu hanya berupa masjid dan yang serupa. Padahal sebenarnya pengertian wakaf lebih luas dari itu. Bisa berupa wakaf kebun, sawah atau bahkan sumur sekalipun. Sebab definisi wakaf itu sendiri adalah: menjaga aset dan mengalirkan penghasilannya. Karena itu dahulu Utsman bin ‘Affân radhiyallahu’anhu mewakafkan sumur Rûmah untuk kaum muslimin.

Di zaman ini pun, banyak lembaga pendidikan yang tetap eksis berkat sokongan wakaf yang dimilikinya. Antara lain: sebuah universitas di Kairo Mesir yang telah berusia ratusan tahun, bahkan dinilai sebagai universitas Islam tertua di dunia. Walau lembaga tersebut minim subsidi dari pemerintah, namun ia tetap eksis. Bahkan bisa memberikan beasiswa -seadanya- kepada para mahasiswanya. Sebab ia memiliki kekuatan raksasa penyokong, yakni wakaf!

Berbagai institusi pendidikan di Indonesia pun banyak yang mengadopsi sistem kemandirian itu. Di antaranya: Pondok A tersebut di atas. Dengan puluhan atau ratusan hektar sawah wakaf yang dimilikinya, ia bisa mensubsidi kebutuhan beras para santri. Sehingga kebutuhan makan santri tidak mutlak dibebankan kepada SPP mereka. Buahnya; nominal SPP bisa lebih ditekan.

3. Memberdayakan energi santri

Dulu ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar, seperti lazimnya siswa SD, saya pernah mengikuti perkemahan di suatu lapangan besar yang diikuti oleh SD-SD satu kecamatan. Bisa dibayangkan bagaimana ramainya tempat itu, ibarat berubah menjadi pasar malam. Namun ‘pahitnya’, setiap kerumunan orang banyak pasti meninggalkan sesuatu yang bernama sampah, dengan berbagai bentuknya.

Menarik untuk dicermati, hanya dengan waktu kurang dari setengah jam, lapangan yang mirip kapal pecah tadi, bisa kembali bersih seperti semula, tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Ternyata panitia menggunakan siasat kaki seribu.

Para peserta dijejerkan bersaf-saf. Lapisan pertama berjalan sambil merunduk dan memunguti sampah. Jika masih ada yang tersisa, akan disikat oleh lapisan kedua. Hingga lapisan terakhir mungkin cuma bisa menemukan puntung rokok, itupun setelah bersusah payah memelototi rumput di hadapannya. Ya, tanpa menyewa tukang sapu, lapangan kembali hijau nyaris tanpa ‘noda’.

Kumpulan orang banyak memang memiliki energi besar, jika diberdayakan dengan baik dan sistematis.

Dengan memanfaatkan tenaga santri, sebenarnya banyak pengeluaran pondok yang bisa diirit. Tukang sapu, tukang kebun, satpam, penjaga dapur, penunggu kantin, sebenarnya bisa ditangani oleh santri. Sehingga pondok memiliki puluhan ‘karyawan sukarela’.

Wah, waktu santri habis dong!

Kalimat “diberdayakan dengan baik” perlu dicetak tebal di sini. Kita bukan akan membebani santri 24 jam mengurusi tetek-bengek tersebut di atas. Jelas itu akan merubah tujuan utama kedatangan mereka ke pesantren. Namun dengan pembagian jadwal yang baik dan pemerataan tugas, paling-paling, satu santri hanya akan kebagian menyapu satu jam dalam satu minggu, tidak lebih! (Namun jangan lupa, harus ada monitoring dari pengurus. Supaya jadwal tersebut tidak berubah menjadi hiasan dinding belaka, alias ndak jalan).

Adapun, pekerjaan yang lebih berat dan membutuhkan pemikiran serta amanah tinggi, semisal menjaga koperasi, maka bisa diserahkan kepada santri senior pilihan yang lazim ada di suatu lembaga pendidikan. Di luar, biasa diistilahkan dengan OSIS.

Masa santri jadi tukang kebun?!

Sekitar lima tahun lalu, tatkala masih kuliah di Madinah, penulis sempat diamanahi menggemban posisi Mandub mahasiswa Indonesia Universitas Islam Madinah. Kalau di Indonesia, mungkin biasa diistilahkan dengan Ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa).

Walaupun pekerjaan yang dibebankan tidak banyak-banyak amat, namun tetap menuntut adanya kerjasama dengan mahasiswa lain. Namanya berinteraksi dengan berbagai jenis manusia, selalu saja ada suka dan duka. Sukanya, jika teman yang dimintai bantuan berkarakter ringan tangan. Dukanya, jika rekan yang diajak cenderung jaim (jaga image)nya terlalu besar, alias ogah-ogahan diajak berbuat untuk orang lain.

Ketika penulis lengser dan posisi tersebut digantikan adik kelas, ternyata ia pun mengalami hal serupa dalam suka dan duka. Saat penulis cermati, ternyata banyak di antara mereka yang enggan diajak bekerja, dahulunya ketika di pondok konsentrasinya dalam belajar kurang diimbangi dengan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat sukarela.

Memberdayakan santri untuk menjalankan ‘pekerjaan rumah tangga’ bukanlah suatu hal yang hina. Justru itu akan mendidik mereka menurunkan gengsi dan memiliki fleksibilitas dalam menghadapi tuntutan keadaan.

Seorang santri yang terjun ke dunia nyata dakwah tertuntut untuk bisa melakukan transformasi diri. Ia harus bisa beradaptasi terhadap tuntutan tugas dakwahnya. Di kehidupan nyata, kerap da’i harus dihadapkan dengan kondisi yang menuntut ia menjadi ustadz, plus tukang sapu, macul sawah, dan pekerjaan-pekerjaan lain, yang barangkali tidak terbayangkan sama sekali saat dulu duduk di bangku pesantren. Dan itu merupakan salah satu tantangan dakwah yang harus dihadapi bukan dihindari. Toh, dahulu Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam juga berbaur dengan para sahabatnya dalam pekerjaan keseharian mereka dan tidak bersikap eksklusif.

Pemberdayaan seperti ini mengandung pendidikan mental dan karakter yang sangat dibutuhkan saat terjun ke masyarakat, dan ditengarai menjadi titik kelemahan banyak lembaga pendidikan salaf yang cenderung unggul dalam bidang keilmuan.

4. Menghindarkan hal-hal yang kurang urgen

Kenyamanan situasi belajar mengajar memang amat diperlukan untuk memperlancar proses transfer ilmu ke diri para santri. Namun seharusnya tidak sampai berlebihan dalam memanjakan santri, sehingga menghilangkan ruh pengorbanan dan kerja keras dalam menimba ilmu.

Yahya bin Abi Katsir rahimahullah menyampaikan petuahnya, “Ilmu itu tidak didapat dengan bersantai ria”.

Berikut penulis bawakan dua contoh:

a. Penggunaan AC di kamar atau kelas santri

Tidak bisa dipungkiri, bahwa secara umum di negeri kita, AC masih dianggap sebagai barang mahal dan simbol kemewahan. Karenanya, menurut hemat kami, pemasangan AC di seluruh kamar dan kelas santri, bukan sekedar di ruang laboratorium komputer saja, merupakan perilaku berlebih dalam dunia pesantren. Walaupun barangkali ada donatur yang siap untuk menyediakan secara cuma-cuma seluruh unit AC yang dibutuhkan. Namun, tentu tagihan listrik dan biaya perawatan akan membengkak. Ujung-ujungnya santri pula yang akan terbebani pembiayaan tersebut.

Pemakaian AC secara full juga berdampak membiasakan santri untuk berlaku manja serta hidup selalu serba enak. Dan hampir bisa dipastikan akan berpengaruh kepada militansi dakwah mereka, manakala terjun ke dunia nyata perjuangan, yang rata-rata amat jauh dari sesuatu yang beraroma kemewahan. Lagi pula sudah menjadi rahasia umum bahwa peralatan pendingin seperti ini menimbulkan dampak kurang baik bagi kesehatan tubuh.

Ini kota panas bung!

Memang betul, suhu satu kota dengan yang lainnya di bumi pertiwi amat berbeda. Ada yang cenderung dingin dan ada pula yang panasnya menyengat. Namun sepanas-panasnya cuaca kota di Indonesia, sepengetahuan kami tidak sepanas negara gurun pasir di mana AC sudah menjadi kebutuhan primer.

Panasnya suasana pondok mungkin bisa disiasati dengan pengaturan yang baik sirkulasi udara dan ventilasi bangunan pondok. Juga dengan memperbanyak pepohonan yang rimbun di komplek pondok, sehingga terciptalah ASÊ (angin sêgar) alami yang sehat dan gratis.

b. Mewah dalam makanan keseharian santri

Asupan gizi yang mencukupi memang mutlak dibutuhkan agar tubuh dan otak santri bisa fit untuk menyerap pelajaran di kelas. Namun gizi tinggi tidak selalu berkonotasi lauk-pauk yang mahal dan setiap hari piring santri selalu berhiaskan sesuatu yang bernama daging. Protein bisa dipadukan antara yang berbahan dasar nabati maupun hewani.

Selain melatih kesederhanaan hidup santri, hal di atas juga akan bisa menekan biaya bulanan makan santri, sehingga bisa dijangkau oleh semakin banyak orang tua yang menginginkan anaknya belajar di pesantren.

5. Subsidi silang

Tingkat ekonomi para orang tua santri tentu amat beragam. Ada yang pas-pasan, ada yang berlebih dan ada pula yang cenderung kekurangan.

Saling tolong-menolong dalam kebaikan merupakan ibadah yang amat mulia dalam Islam. Allah ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

Artinya: “Saling tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan”. QS. Al-Maidah: 2.

Di antara potret indah saling membantu: subsidi silang dalam dunia pesantren. Kelebihan yang dimiliki wali santri kaya dialirkan untuk membantu santri yang kekurangan. Entah itu dalam kemasan beasiswa bagi santri yang berprestasi atau dalam bentuk lainnya.

Merupakan suatu hal yang menggembirakan bahwa tidak sedikit pondok-pondok yang telah menerapkan konsep di atas. Hanya saja barangkali kuantitasnya masih perlu untuk ditingkatkan.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam menjalankan subsidi silang ini adalah urgensi transparasi dalam penyaluran dana tersebut. Seyogyanya seluruh wali santri, apalagi yang bersangkutan, bisa mengetahui aliran pendanaan tersebut. Semua harus jelas, rapi, terang dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Laporannya pun ada dan siap saji setiap saat, bukan hanya berdasarkan “kira-kira”. Ini mutlak diperlukan, untuk menanamkan kepercayaan dan menghilangkan prasangka buruk

6. Menggeliatkan gerakan orang tua asuh

Banyak anak cerdas yang sebenarnya ingin sekali masuk ke pesantren, namun karena keterbatasan ekonomi orang tuanya, mereka terhalang untuk meraih impian indah tersebut.

Dalam kondisi seperti inilah empati orang-orang yang dikaruniai kelebihan harta seharusnya ditumbuhsuburkan.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menasehatkan,

“ابْغُونِي الضُّعَفَاءَ؛ فَإِنَّمَا تُرْزَقُونَ وَتُنْصَرُونَ بِضُعَفَائِكُمْ“.

“Bantulah aku untuk mencari dan menolong orang-orang lemah; sesungguhnya kalian dikaruniai rizki dan meraih kemenangan lantaran adanya orang-orang miskin di antara kalian”. HR. Abu Dawud, dan sanadnya dinilai jayyid (baik) oleh an-Nawawy.

Gandenglah tangan anak-anak malang itu dan sisihkan sebagian rizki Anda untuk mencetak kader da’i dan ulama. Anda tidak tahu, bisa jadi, anak-anak yang Anda biayai itulah yang akan membantu perjalanan Anda kelak di akhirat, manakala kaki Anda terseok-seok keberatan dosa.

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika manusia mati, maka seluruh amalannya akan terputus kecuali tiga. Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak salih yang mendoakannya”. HR. Muslim dari Abu Hurairah.

Andaikan menjadi lantaran hidayah seorang manusia saja sudah dianggap sebagai amal salih yang amat utama. Bagaimana jika Anda menjadi lantaran hidayah penduduk satu kampung atau satu kota, melalui perantara putra daerah yang Anda sekolahkan ke pesantren??

Dana yang Anda keluarkan untuk membangun masjid adalah amal yang amat mulia, namun jangan lupa, betapa banyak masjid yang ‘mati’ lantaran tidak ada orang yang menghidupkan shalat berjamaah dan menyemarakkan pengajian di dalamnya. Pembangunan fisik perlu diiringi dengan pencetakan Sumber Daya Manusia yang mumpuni.

Sekedar contoh, kiprah salah satu pengusaha papan atas Indonesia. Dia membuat sekolah unggulan gratis bagi warga miskin berprestasi. Saat ini 400 siswa dia tampung di SMA unggulan tersebut, segalanya bebas biaya, bahkan plus biaya akomodasi dan uang saku! Biaya operasional yang dikeluarkan per bulannya Rp. 500 juta hingga 1 miliar. Semua berasal dari keuntungan berbagai perusahaan yang dimilikinya.[2]

Andaikan setiap pengusaha memiliki spirit kepedulian serupa. Masing-masing sesuai dengan potensi yang ia punyai. Mungkin tidak lagi tersisa anak miskin di bumi pertiwi ini, yang meneteskan air matanya, karena melihat teman-temannya tertawa riang berlari berangkat ke sekolah, sedangkan dia sendiri harus membantu orang tuanya mencari sesuap nasi…

7. Menyuburkan ruh pengorbanan dalam jiwa tenaga pengajar

Sejak dulu dunia lembaga pendidikan Islam tanah air tidak pernah lekang menggoreskan potret keikhlasan, pengorbanan dan kesederhanaan para punggawanya yang luar biasa.

Ada kiai yang berkata, “Kasur yang kutiduri tidak akan melebihi empuknya kasur yang ditiduri santriku. Makanan yang kusantap tidak akan lebih enak dibanding makanan santriku!”.

Ada pula yang dikisahkan, hingga wafatnya belum memiliki rumah pribadi. Padahal santrinya sudah puluhan ribu, tanah pondoknya telah puluhan hektar dan cabangnya sudah tersebar di seantero penjuru nusantara.

Keberhasilan suatu pondok, tidak bisa dilepaskan dari taufik Allah ta’ala, yang itu akan diturunkan-Nya, antara lain, manakala pengasuh pondok dan para tenaga pembantunya ikhlas dalam menjalankan amanah yang diemban.

Pondok mereka jadikan sebagai ladang untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya sebagai bekal menghadap Allah ta’ala kelak. Yang selalu tertanam dalam benak mereka adalah: “Apa yang bisa saya persembahkan untuk pondok? Bukan keuntungan duniawi apa yang bisa saya raup dari pondok?”.

Konsep keikhlasan dalam Islam bukan berarti ustadz diterlantarkan mengajar tanpa ada gaji yang memadai. Bagaimanapun juga mereka juga memiliki kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarganya.

Namun demikian, sekurang-kurangnya ada dua poin yang perlu diperhatikan di sini:

Pertama: Apa tujuan utama mengajar di pondok? Untuk meraup keuntungan duniawikah? Atau untuk mengejar pahala ukhrawi? Sedangkan gaji yang didapatkan itu dianggap sebagai karunia kemurahan Allah, yang tidak akan mungkin menyia-nyiakan para hamba-Nya yang berjuang membela agama-Nya.

Pondok dianggap sebagai lahan basah bisniskah, atau sebagai ladang perjuangan?

Pondok diposisikan sebagai imperium keluarga yang kelak dibagi-bagikan kepada ahli warisnyakah, atau dijadikan wakaf kaum muslimin?

Kedua: Pola berfikir orang yang beriman, apalagi berilmu, tentu berbeda dengan insan yang minim ilmu agama. Mereka bisa memilah dan memilih mana kebutuhan primer, mana pula kebutuhan sekunder. Harta duniawi yang mereka miliki, hanya dijadikan sebagai tunggangan untuk mengantarkan ke kehidupan abadi kelak.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

“قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ”

“Beruntunglah orang yang berislam, dikaruniai rizki yang cukup dan dijadikan menerima apa pun yang dikaruniakan Allah”. HR. Muslim dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma.

Tidak lupa beliau juga menggariskan ukuran kecukupan dalam sabdanya,

“مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ؛ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا”

“Barang siapa yang melewati harinya dengan perasaan aman dalam rumahnya, sehat badannya dan memiliki makanan untuk hari itu; seakan-akan ia telah memiliki dunia seisinya”. HR. Tirmidzi dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani.

Tidak selayaknya para ustadz terjangkiti budaya hedonisme. Gemar gonta-ganti kendaraan, laptop atau hp, tanpa ada kebutuhan yang mendesak. Namun semata mengikuti tren yang berkembang di masyarakat. Selain hal itu akan menggelembungkan pengeluaran mereka, juga akan menimbulkan imej negatif di mata para mad’u. sehingga sedikit banyak akan mempengaruhi tingkat keberhasilan dalam berdakwah

Catatan penting

Kata keikhlasan harus selalu dihembuskan ke telinga seluruh jajaran anggota pesantren, mulai dari ‘top manager’ hingga ‘akar rumput’, dan disuntikkan ke hati mereka. Namun hendaknya kata mulia ini tidak digunakan sebagai tameng oleh ‘top manager’ untuk menutupi kekurangannya. Manakala mereka tidak mampu memenuhi kesejahteraan para ustadz, dikarenakan belum berusaha maksimal untuk itu.

Yang benar, berusahalah secara maksimal untuk mewujudkan hal itu. Jika belum juga bisa memenuhi target, maka ruh pengorbanan dan jiwa keikhlasan perlu untuk ditingkatkan oleh seluruh jajaran anggota pesantren. Supaya roda kehidupan pesantren bisa tetap menggelinding dengan baik.

BISIKAN DI TELINGA PARA WALI SANTRI

Jika pembicaraan di atas lebih banyak tertuju kepada para pengasuh pondok dan segenap jajaran pembantunya, maka bukan berarti para wali tidak perlu untuk diberi arahan.

Ketahuilah wahai para orang tua, ustadz-ustadz di pondok telah menguras tenaga dan pikiran, serta mengorbankan waktu mereka demi pendidikan putra-putri Anda. Dan perlu diketahui bahwa proses pengajaran anak bukanlah semata pekerjaan satu pihak. Namun harus ada sinergi antara pihak rumah dan pihak sekolah.

Minimal, Anda memperhatikan kewajiban yang harus dipenuhi terhadap pihak sekolah / pesantren. Hak anak Anda berupa pendidikan dan pengajaran agama telah ia dapatkan, maka jangan lupa penuhi pula hak pondok berupa iuran bulanan. Jadikanlah itu sebagai prioritas utama dalam kehidupan rumah tangga Anda.

Sekedar ilustrasi untuk menggambarkan bahwa sebagian orang tua masih perlu meluruskan skala prioritas pengeluaran mereka, kejadian nyata beberapa saat lalu. Dikisahkan bahwa pengasuh Pondok B di Jawa Timur yang telah terkenal biaya pendidikannya paling murah, suatu hari kedatangan wali santri yang memohon dengan sangat agar uang pangkal sebesar 1,5 juta didiskon atau minimal diundur pembayarannya. Tatkala ditanya tentang alasan, katanya ia baru saja mengeluarkan biaya sekitar 70 juta untuk memasukkan salah satu anaknya ke Fakultas Kedokteran (!!!).

Subhanallah… Sudah sedemikiankah cara pandang sebagian wali santri dalam memilah dan memilih mana pengeluaran yang harus didahulukan?? Bukannya tidak boleh belajar di jurusan umum. Tapi manakah yang harus diprioritaskan? Hadits nabawi berikut mungkin bisa dijadikan sebagai bahan renungan untuk mengoreksi ulang pola berpikir kita.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

إِنَّ اللهَ تَعَالىَ يُبْغِضُ كُلَّ عَالِمٍ بِالدُّنْيَا جَاهِلٍ بِالْآخِرَةِ”.

“Sesungguhnya Allah ta’ala membenci orang yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam perkara akherat”. HR. Al-Hakim dalam Tarikhnya dari Abu Hurairah dan dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albany.

Amat disayangkan banyak pesantren yang setiap bulannya, iuran santri menunggak sampai lebih dari 50 %! Para pengasuh pesantren sering dipaksa ‘sport jantung’ memikirkan santri makan apa besok?

Tidak sedikit pula, para wali santri yang menitipkan anaknya di pondok selama bertahun-tahun. Setelah tamat dan merasakan manisnya hasil pendidikan pesantren, dia lupa atau pura-pura lupa, bahwa dia masih memiliki tanggungan SPP yang belum dia lunasi.

Sebagian mereka memandang ringan tanggung jawab materi tersebut, dengan alasan tidak ada perjanjian tertulis mengenai kewajiban menyelesaikan tanggungan itu.

Ketahuilah, bahwa dengan Anda memasukkan putra Anda ke pesantren, berarti otomatis Anda telah terikat dengan kewajiban keuangan itu. Andaikan tidak Anda bereskan, maka akan menjadi hutang yang tidak akan pernah gugur sampai kapanpun jua. Selama belum Anda lunasi atau dibebaskan oleh pihak pesantren.

Bersiaplah, pahala Anda dikurangi untuk dilimpahkan kepada orang lain dan dosa mereka dicabut lalu ditimpakan kepada beban dosa Anda!

EPILOG

Barangkali sebagian kalangan menilai makalah ini terlalu idealis dan tidak sejalan dengan realita. Namun bukankah mimpi indah di atas bukan sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan?

Dengan limpahan karunia taufik dari Allah ta’ala yang tidak berhenti mengalir, kemudian dukungan kerjasama seluruh pihak, insyaAllah kita bisa mewujudkan cita-cita mulia “Membuat lembaga pendidikan Islam berkualitas dengan biaya yang terjangkau”. Atau dengan kata lain “Pesantren yang murah tapi tidak murahan”. Semoga…

Wa shallallahu’ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbih ajma’in…

Oleh: Abdullah Zaen, MA

@ Pesantren Tunas Ilmu Purbalingga,4 R Tsani 1432 / 12 Maret 2011

 


[1] Manajemen Pesantren, Pengalaman Pondok Modern Gontor, KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA (hal. 176-179).

[2] Baca: Chairul Tanjung Si Anak Singkong, Tjahja Gunawan Diredja (hal. 257-263).


Artikel asli: https://tunasilmu.com/empati-pendidikan-untuk-anak-miskin/